Blog

Apakah Hanya dengan Berdoa Saja Cukup?

Oleh: Rahmawati Rahayu

ALIM YEKNI

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mendefinisikan bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Tercatat sepanjang tahun 2018, Indonesia banyak mengalami bencana yang disebabkan oleh faktor alam. Mulai dari tsunami di wilayah Sulawesi Tengah, Banten, dan Lampung, erupsi Gunung Anak Krakatau, hingga tanah longsor di Sukabumi, Jawa Barat. Mengutip dari laman resmi Badan Nasional Penganggulangan Bencana (BNPB), tercatat hingga November 2018 telah terjadi 2.308 kejadian bencana yang menyebabkan 4.201 orang meninggal dunia dan hilang. Sementara 9.883.780 lainnya terdampak dan mengungsi akibat bencana alam tersebut. Selain itu, bencana alam juga telah mengakibatkan 371.625 rumah mengalami kerusakan.

Lalu, faktor apa saja yang menyebabkan wilayah di Indonesia rawan mengalami bencana alam?

Berdasarkan letak geografis, Indonesia berada dalam kawasan Cincin Api Pasifik (Ring of Fire) yang merupakan istilah untuk menyebut wilayah yang sering terjadi gempa bumi dan letusan gunung berapi aktif. Cincin Api Pasifik memiliki 452 gunung berapi dan merupakan rumah bagi lebih dari 75% gunung berapi aktif dan tidak aktif di dunia. Terkadang disebut circum-Pacific belt atau circum-Pacific seismic belt.

Antar lempeng di kawasan Cincin Api akan berubah posisi dan ukuran dengan kecepatan 1-10 cm per tahun. Jika terjadi desakan antar lempeng secara horizontal, maka akan terjadi gempa bumi. Namun apabila terjadi desakan antar lempeng secara vertikal, maka akan terjadi letusan gunung berapi. Aktivitas magmatik ini berpotensi menyebabkan gempa bumi. Ketika lempeng bumi bergerak dapat terjadi tiga kemungkinan: lempeng-lempeng bergerak saling menjauhi sehingga memberikan ruang untuk dasar laut yang baru, lempeng saling bertumbukan yang menyebabkan salah satu lempeng terdesak kebawah dari lempeng yang lain, atau tepian lempeng meluncur tanpa pergesekan yang berarti.

Selain itu, wilayah Indonesia juga terletak pada sabuk Alphine (Alphine Belt) yang mana sekitar 17% dari gempa bumi terbesar atau sekitar 5-6% gempa bumi yang terjadi di dunia berada pada kawasan sabuk Alphine.  Titik pertemuan tiga lempeng bumi juga menjadi salah satu penyebab seringnya terjadi bencana alam, khususnya gempa bumi. Lembaran bumi yang mengelilingi Indonesia adalah lempeng Pasifik, Eurasia, dan Indo-Australia. Wilayah Indonesia sangat kaya akan sebaran patahan aktif atau sesar aktif. Ada lebih dari 200 patahan yang sudah terpetakan dengan baik dan masih banyak yang belum terpetakan, sehingga tidak heran jika wilayah Indonesia bisa mengalami 10 kali gempa dalam sehari. Pergerakan lempeng yang saling mendekati akan menyebabkan tumbukan (subduksi), yang mana salah satu dari lempeng akan menunjam ke bawah yang lain. Daerah penunjaman membentuk suatu palung yang dalam, yang biasanya merupakan jalur gempa bumi yang kuat. Di belakang jalur penunjaman akan terbentuk rangkaian kegiatan magmatik dan gunung api serta berbagai cekungan pengendapan.

Ketika suatu wilayah menyimpan potensi bencana besar, maka upaya preventif yang dapat dilakukan adalah dengan mencari tahu tingkat risiko yang dapat ditoleransi. Menurut Direktorat Jenderal Tata Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Abdul Kamarzuki, bahwa ada tiga hal pokok dalam kebijakan dasar mitigasi bencana di kawasan yang memiliki kerawanan tinggi. Pertama adalah relokasi atau penghindaran. Namun opsi ini dipilih setelah melalui kajian terhadap tingkat risiko. Apabila tingkat risiko bencana pada suatu wilayah masih dapat ditoleransi, maka struktur konstruksi di tempat tersebut dapat dibangun dengan beberapa syarat. Tetapi jika tingkat bahaya sudah tidak dapat ditoleransi, maka opsi relokasi dipilih untuk menghindarkan masyarakat dari bahaya. Kedua adalah proteksi melalui sistem infrastruktur mitigasi bencana, serta adaptasi melalui peraturan zonasi atau persyaratan membangun di kawasan bencana. Lalu yang terakhir adalah persiapan sistem evakuasi yang efektif serta efisien seperti jalur dan tempat evakuasi.

Berdasarkan tiga hal pokok tersebut, maka perlu dilakukan penanggulangan bencana alam agar dapat meminimalkan dampak akibat bencana. Secara umum, penanggulangan bencana alam dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni pencegahan sebelum bencana, penanggulangan saat bencana, dan sesudah terjadinya bencana. Berikut adalah uraian lengkapnya.

Sebelum Bencana

Terdapat dua hal yang harus dilakukan sebelum terjadi bencana (pra-bencana), yakni kesiapsiagaan dan mitigasi. Kesiapsiagaan terdiri dari kegiatan membuat sistem peringatan dini, menyusun cara pemeliharaan logistik, dan melakukan pelatihan terhadap personil tim penyelamat. Selain itu, perlu juga dilakukan perencanaan tentang rute evakuasi, serta langkah-langkah dalam proses pencarian dan penyelamatan korban bencana. Semua kegiatan tersebut dilakukan sebelum terjadi bencana dengan tujuan untuk mengurangi timbulnya korban jiwa dan kerusakan saat bencana.

Kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam mitigasi adalah semua kegiatan yang bertujuan untuk menurunkan skala bencana yang diprediksi terjadi di masa yang akan datang. Kegiatan mitigasi ini memfokuskan pada bahaya atau ancaman bencana itu sendiri. Misalnya, membangun rumah yang tahan terhadap guncangan gempa dan membuat sistem pengairan di daerah yang sering dilanda bencana kekeringan.

Saat Bencana

Saat terjadinya bencana alam, ada serangkaian kegiatan yang harus dilakukan oleh tim penyelamat. Serangkaian kegiatan tersebut meliputi menyelamatankan dan mengevakuasi korban serta harta bendanya (termasuk hewan ternak/peliharaan), memenuhi kebutuhan dasar korban bencana, memberikan perlindungan, pengurusan pengungsi, serta menyelamatkan dan memperbaiki prasarana.

Setelah Bencana

Fase setelah terjadinya bencana (pasca-bencana) merupakan waktu yang perlu diperhatikan, karena bencana menimbulkan dampak setelahnya. Secara umum, kegiatan pasca bencana dapat dibedakan menjadi dua, yakni rehabilitasi dan rekonstruksi. Rehabilitasi merupakan usaha untuk memperbaiki dan memulihkan semua bidang pelayanan publik, sehingga dapat digunakan atau berfungsi kembali. Bidang pelayanan publik yang harus diperbaiki meliputi semua hal, mulai dari bidang pemerintahan di daerah bencana sampai kehidupan masyarakatnya.

Selanjutnya yakni rekonstruksi. Rekonstruksi merupakan kegiatan yang dilakukan untuk membangun kembali semua sarana dan prasarana, serta kelembagaan di daerah yang terkena bencana. Rekonstruksi dilakukan mulai dari tingkat pemerintahan sampai masyarakat umum. Sasaran utama dari kegiatan rekonstruksi yakni bertumbuh dan berkembangnya aktivitas ekonomi, sosial dan budaya, tegaknya ketertiban dan hukum yang berlaku, serta bangkitnya keterlibatan

Jadi, perlu dilakukan suatu usaha untuk mengantisipasi bencana yang datang karena berdoa saja tidak akan cukup. Dalam Islam pula mengajarkan setiap umatnya untuk berusaha (ikhtiar) terlebih dahulu, kemudian barulah berdoa agar segala usaha yang telah dilakukan dapat memberikan hasil sesuai harapan. Apabila suatu bencana tidak dapat dihindari, setidaknya korban dan kerusakannya dapat diminimalkan.

 

Referensi

TribunNews. 2018. Kaleidoskop 2018: Bencana Alam di Indonesia Sepanjang 2018, Tsunami 2 Kali Hingga Banyak Gempa Bumi. http://www.tribunnews.com/section/2018/12/24/kaleidoskop-2018-bencana-alam-di-indonesia-sepanjang-2018-tsunami-2-kali-hingga-banyak-gempa-bumi (diakses pada hari Rabu, 23 Januari 2019 pukul 19.06 WIB)

BNPB. 2017. Definisi dan Jenis Bencana. https://www.bnpb.go.id/home/definisi (diakses pada hari Rabu, 23 Januari 2019 pukul 19.10 WIB)

Tiara, Rizki A. 2018. 7 Faktor Alam yang Menyebabkan Indonesia Rawan Terjadi Gempa Bumi. http://travel.tribunnews.com/2018/10/11/7-faktor-alam-yang-menyebabkan-indonesia-rawan-terjadi-gempa-bumi (diakses pada hari Rabu, 30 Januari 2019 pukul 16.50 WIB)

Kaskus. 2014. Mengenal Lebih Dalam Tentang Ring of Fire: Kenapa Banyak Bencana Alam di Indonesia. https://www.kaskus.co.id/thread/532a5b89bfcb170d118b4712/mengenal-lebih-dalam-tentang-ring-of-fire-kenapa-banyak-bencana-alam-di-indonesia/ (diakses pada hari Rabu, 30 Januari 2019 pukul 17.07 WIB)

TribunKaltim. 2018. Berada di Pertemuan 3 Lempeng Utama Dunia, Seberapa Besar Potensi Bencana Gempa di Indonesia?. http://kaltim.tribunnews.com/2018/08/07/berada-di-pertemuan-3-lempeng-utama-dunia-seberapa-besar-potensi-bencana-gempa-di-indonesia (diakses pada hari Rabu, 30 Januari 2019 pukul 17.40 WIB)

Pramudiana, Hana. 2011. Keberadaan dan Pengaruh Lempeng Tektonik di Indonesia. http://hanageoedu.blogspot.com/2011/12/keberadaan-dan-pengaruh-lempeng.html (diakses pada hari Rabu, 30 Januari 2019 pukul 19.38 WIB)

Haryanti, Rosiana. 2018. Tiga Hal Harus Dilakukan di Daerah Rawan Bencana. https://properti.kompas.com/read/2018/10/09/210847521/tiga-hal-harus-dilakukan-di-daerah-rawan-bencana (diakses pada hari Rabu, 30 Januari 2019 pukul 19.44 WIB)

Citra. 2017. Penanggulangan Bencana Alam di Indonesia. https://ilmugeografi.com/bencana-alam/penanggulangan-bencana-alam (diakses pada hari Kamis, 31 Januari 2019 pukul 11.11 WIB)

Penulis : Rahmawati Rahayu

Editor   : Danang Nizar

 

*karya ini merupakan salah satu tulisan yang masuk dalam kegiatan IYDRR bertajuk #CerdasBencana

Penyelenggaraan Penanggulangan, Pencegahan, Kesiapsiagaan, dan Mitigasi Bencana (P2KM): Metode Non-Struktural untuk Antisipasi Bencana Alam di Indonesia

Oleh: Mochammad Alim Yekini dan Muhammad Alzaid Ponka1

1Mahasiswa Program Studi S1 Geologi Universitas Indonesia

PK2M

Berdasarkan kondisi geologi, Indonesia terbentuk dari hasil proses interaksi tiga lempeng tektonik besar, yaitu Lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Lempeng Pasifik (Amri dkk, 2016). Aktivitas tektonik tersebut menyebabkan terbentuknya deretan gunung api di sepanjang Pulau Sumatera hingga ke Laut Banda dan Utara Pulau Sulawesi sampai Maluku, sehingga sering disebut ring of fire atau rangkaian Sirkum Pasifik. Aktivitas tektonik juga berdampak pada pembentukan sesar atau patahan. Aktivitas sesar dan gunung api di Indonesia tidak hanya memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah, tetapi risiko bencana alam yang cukup tinggi. Menurut Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2007, bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana tersebut terbagi menjadi dua, yaitu bencana geologi dan bencana hidrometeorologi. Bencana geologi meliputi gempa bumi, tsunami, tanah bergerak (land movement), dan erupsi gunungapi (volcanoes eruption). Bencana hidrometeorologi mencakup banjir, tanah longsor, puting beliung, kebakaran hutan, dan kekeringan.

Banyaknya kejadian bencana alam di Indonesia menuntut kita sebagai masyarakat untuk memiliki kesadaran yang tinggi akan risiko bencana. Beban yang dipikul oleh pemangku kepentingan di bidang bencana alam sangat berat, apalagi ditambah dengan masyarakat yang belum sepenuhnya sadar terhadap bencana di daerahnya masing-masing. Oleh karena itu, penulis menawarkan sebuah metode untuk mengantisipasi bencana yang ada di sebagian besar wilayah Indonesia, yakni metode “P2KM/Penyelenggaraan Penanggulangan, Pencegahan, Kesiapsiagaan, dan Mitigasi Bencana”.

Metode P2KM adalah metode penerapan kebijakan pembangunan, pembelajaran/ pengajaran, serta pelatihan yang disajikan dalam suatu rangkaian kegiatan yang menarik dan kreatif sebagai langkah antisipasi bencana yang dapat menimbulkan korban jiwa, kerugian materi, kerusakan lingkungan, dan dampak kerusakan lainnya. Metode ini melibatkan beberapa instansi serta pemangku kepentingan di bidang bencana seperti BNPB, BPBD, PVMBG pusat & daerah, Kementerian Komunikasi dan Informasi, Kementerian PUPR, Kementerian ATR/BPN, serta perguruan tinggi. Adapun metode tersebut adalah sebagai berikut:

1. Penerapan Kebijakan Pembangunan

Penerapan kebijakan pembangunan merupakan pengelolaan tata ruang bangunan suatu daerah yang dikaji dari berbagai sudut pandang seperti kondisi geologi, standar bangunan, dan lain-lainnya. Pemerintah, BNPB, Kementerian PUPR, dan PVMBG harus saling bekerja sama untuk menentukan standar tata ruang dan bangunan yang dibangun. Contohnya, PVMBG mengkaji daerah yang rentan bencana berdasarkan potensi geologi seperti struktur geologi dan litologi, BNPB mengeluarkan peta risiko, dan Kementerian PUPR membuat standar untuk bangunan yang tahan terhadap bencana (gempa bumi, tsunami, dan kebakaran).

Kemudian, pemerintah menyusun kebijakan pengelolaan bangunan suatu daerah berdasarkan kajian yang telah dilakukan oleh instansi/lembaga yang sudah disebutkan sebelumnya. Setelah itu, pemerintah daerah mengeluarkan izin pembangunan serta penerapan kepemilikan tanah melalui BPN daerah dengan standar bangunan mengacu dari Kementerian PUPR dan BSNI. Penerapan kebijakan pembangunan berguna dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana dari segi penetapan bangunan tahan bencana.

2. Penyuluhan Pencegahan, Kesiapsiagaan, dan Mitigasi Bencana

Penyuluhan merupakan suatu kegiatan yang memberikan materi atau pembelajaran mengenai bencana, baik dalam tahap kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan pasca-bencana. Penyuluhan dilakukan oleh pemangku kepentingan seperti BPBD yang dibantu oleh relawan yang bergerak dalam bidang bencana. Biasanya, penyuluhan dilakukan dalam bentuk sosialisasi ke masyarakat serta beberapa sekolah mengenai cara evakuasi diri saat bencana, sebab dan akibat dari suatu bencana, dan bagaimana mengantisipasi bencana tersebut.

Beberapa solusi dari setiap kelompok masyarakat memiliki pengetahuan dan cara tersendiri untuk menanggulangi bencana tersebut. Pengetahuan ini disebut dengan kearifan lokal (Maarif, 2012). Kearifan lokal adalah salah satu cara penanggulangan bencana yang bersifat lokal dan setiap daerah memiliki ciri khas sendiri. Sebagai contoh, masyarakat Simeulue yang disebut smong. Metode ini adalah salah satu cara yang paling berhasil meminimalkan korban jiwa. Selain itu, penyuluhan dapat dituangkan dalam penerapan edukasi melalui pendekatan Alquran. Bencana alam yang timbul antara Allah SWT dengan alam merupakan suatu kepastian yang ada (Prayetno, 2018). Beberapa fenomena geologi, seperti gempabumi, tsunami, letusan gunungapi merupakan sunatullah. Artinya, fenomena geologi tersebut merupakan suatu proses alamiah yang terjadi agar keseimbangan alam tetap terjaga. Fenomena ini tidak berkaitan langsung dengan ulah manusia. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah edukasi melalui pendekatan agama yang berkaitan dengan bencana tersebut dan penanggulangannya. Harapannya, konsep ini dapat memberikan dampak persuasif yang cukup baik untuk masyarakat dan sadar, bahwa terdapat musibah yang kemunculannya merupakan sebuah ujian bagi mereka. Pada rangkaian ini, dilaksanakan dua sesi forum pembahasan dan diskusi. Pada sesi pertama, dilakukan pembahasan terkait geologi bencana yang dikemas dengan analogi dasar atau berupa video animasi, infografis, dan lain-lain. Pada sesi kedua, barulah tokoh publik menyampaikan dari sisi kajian Alquran berkaitan dengan bencana alam dan penanggulangannya. Isi materi berupa pengenalan bencana dan potensi bencana alam geologi yang akan terjadi di daerahnya, yang dikompilasi dan disampaikan kepada masyarakat umum.

3. Pelatihan Simulasi Pencegahan, Kesiapsiagaan, dan Mitigasi Bencana

Pelatihan simulasi merupakan kegiatan praktik setelah melakukan rangkaian kegiatan penyuluhan. Pelatihan simulasi kebencanaan yang akan dipandu oleh BNPB atau BPBD, dan bekerja sama dengan kementerian atau lembaga terkait, salah satunya seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta dibantu oleh relawan dan tokoh yang dipercaya oleh daerah setempat. Sasaran dari kegiatan ini adalah masyarakat pada daerah yang berisiko bencana tinggi.

Jenis simulasi akan bergantung pada potensi bencana yang terjadi di daerah tertentu. Pelatihan bencana ditujukan untuk masyarakat, agar saat terjadi suatu bencana dapat menerapkan dan melakukan setiap hal yang telah dipraktikkan pada saat sesi pelatihan, sehingga hanya menimbulkan sedikit kerugian ataupun korban jiwa. Simulasi ini juga menjelaskan secara rinci penanggulangan bencana, termasuk tahap tanggap darurat. Contohnya, penentuan jalur evakuasi dan titik kumpul serta proses evakuasi dalam simulasi gempabumi dan tsunami secara partisipatif.

Adanya sistem penanggulangan bencana yang teratur dan inovatif tentunya sangat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat terkait potensi bencana alam yang terjadi di daerah. Kolaborasi antara masyarakat dan pihak pemangku kepentingan dapat mewujudkan sinergi yang baik dalam penanganan bencana. Edukasi bencana alam diharapkan dapat dikemas dalam bentuk dan cara yang menarik, misalnya melalui media sosial, agar dapat dijangkau oleh semua kalangan, mengingat kondisi Indonesia yang berada di jalur ring of fire.

 

Referensi

Amri dkk. (2016). Risiko Bencana Indonesia. Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

Anonim. (2018). Panduan Kesiapsiagaan Bencana Alam. Safety sign Indonesia

Anonim. (2012). Manajemen Bencana dalam Kurikulum Poltekkes. Info Krisis Kesehatan

BNPB. (2014). Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) 2013. Indonesia: Dir. Pengurangan Risiko Bencana.

BNPB. (2018). Buku Saku “Tanggap Tangkas Tangguh Menghadapi Bencana Ed. 2017”. Jakarta: BNPB Press

Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 21 Tahun 2008

Prayetno. (2018). Kajian Alquran dan Sains tentang Kerusakan Lingkungan. Jurnal Studi Ilmu Alquran dan Al-Hadits

Syamsul Maarif dkk. (2012). Kontestasi Pengetahuan dan Pemaknaan tentang Ancaman Bencana Alam. Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, hal 1-13.

Umar, Nurlailah. (2013). Pengetahuan dan Kesiapsiagaan Masyarakat Menghadapi Bencana Banjir di Bolapapu Kecamatan Kulawi Sigi Sulawesi Tengah. Jurnal Keperawatan Soedirman.

 

 

Penulis: Mochammad Alim Yekini dan Muhammad Alzaid Ponka

Editor: Danang Nizar

 

*karya ini merupakan salah satu tulisan yang masuk dalam kegiatan IYDRR bertajuk #CerdasBencana

Pemuda Sadar Bencana

Oleh: Muhammad Arifin

*Mahasiswa Magister Ilmu Kebencanaan Universitas Syiah Kuala

PEMUDA SADAR BENCANA

 

Indonesia memiliki gunungapi aktif terbanyak di dunia, sebanyak 127 buah gunung api aktif. Indonesia berada di kawasan Ring of Fire atau biasa disebut dengan Cincin Api. Beberapa gunungapi aktif pernah meletus dan di antaranya merupakan letusan gunungapi terkuat yang pernah terjadi di dunia. Indonesia juga berada di antara jalur pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik, yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik yang menjadikan wilayah Indonesia rawan gempabumi. Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di dunia yang juga menyebabkan sebagian besar kawasan pesisir pantai Indonesia rawan dilanda tsunami.

Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan alam, nonalam dan manusia yang mengakibatkan korban jiwa, kerusakan lingkungan, harta benda, dan dampak psikologis. Bencana alam berupa bencana gempabumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana nonalam berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit, sedangkan bencana sosial yang diakibatkan manusia berupa konflik sosial antar kelompok dan antar komunitas masyarakat dan teror.

Bencana tidak dapat dihentikan, tetapi risiko bencana dapat dikurangi. Bagaimana mengurangi risiko bencana? Dengan meningkatkan kapasitas dan mengurangi kerentanan, inilah konsep sederhana dalam pengurangan risiko bencana.

Konsep di atas terdapat 2 (dua) kata kunci penting, yakni kapasitas dan kerentanan. Menurut Paripurno (2011), kapasitas adalah penguasaan sumber daya, cara, dan kekuatan yang dimiliki masyarakat yang memungkinkan mereka mempersiapkan diri, mencegah, menjinakkan, menanggulangi, mempertahankan diri serta dengan cepat memulihkan diri dari akibat bencana. Kerentanan menurut Fussel (2007) merupakan kondisi masyarakat yang tidak dapat menyesuaikan dengan perubahan ekosistem yang disebabkan oleh suatu ancaman tertentu.

Bagaimana Meningkatkan Kapasitas?

Ada 3 (tiga) unsur penting yang bertanggung jawab dalam penanggulangan bencana, yaitu pemerintah, masyarakat, dan badan usaha. Pemuda adalah bagian dari masyarakat yang berperan penting dalam penanggulangan bencana. Pemuda harus berperan aktif dalam meningkatkan kapasitas pengetahuan dalam mengurangi risiko bencana.

Pengetahuan memiliki peran penting dalam mengurangi risiko bencana. Hal ini dicontohkan dalam peristiwa tsunami di Aceh tahun 2004 silam. Perbedaan yang sangat signifikan dapat dilihat dari jumlah korban yang meninggal antara Kota Banda Aceh dengan Kabupaten Simeulue, dengan jumlah korban yang meninggal di Banda Aceh sebanyak 61.065 jiwa sedangkan korban meninggal di Kabupaten Simeulue sebanyak 7 jiwa. Pusat gempa sangat dekat dengan Kabupaten Simeulue, namun korban di Kabupaten Simeulue paling sedikit. Hal ini terjadi karena masyarakat Simeulue memiliki kejadian serupa yang terjadi pada tahun 1907 (Smong News, 2016).

Masyarakat Simeulue menamakan ombak besar (tsunami) dengan sebutan smong. Kedahsyatan smong beserta tanda-tanda alam yang mendahuluinya diceritakan kepada generasi secara turun-menurun dalam bentuk sastra lisan yang disampaikan pada saat sebelum tidur. Hal inilah yang menjadikan smong tetap terjaga sampai sekarang, hingga peristiwa tsunami 2004 silam masyarakat Simeulue berhasil mengevakuasi diri ke tempat yang lebih tinggi.

Dalam upaya penanggulangan bencana terdapat tahap mitigasi. Salah satunya adalah mitigasi nonstruktural, contohnya berupa seminar, workshop, pelatihan, dan lain-lain. Pemuda dapat aktif mengikuti berbagai seminar, workshop, kuliah online yang bertemakan penanggulangan bencana, atau aktif dan terlibat di dalam komunitas-komunitas pengurangan risiko bencana. Selain itu, pemuda dapat ikut serta dalam simulasi yang diadakan oleh masyarakat yang bekerjasama dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan lembaga berwenang lainnya di sekolah, kampus, dan di desa-desa yang dilaksanakan.

Belajar bencana juga bisa sambil berwisata. Misalnya pergi ke tempat-tempat bersejarah yang menjadi bukti betapa dahsyatnya gelombang tsunami 2004 silam di Museum Tsunami, dan goa yang menyimpan sejarah tsunami 7400 tahun silam di Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh.

Setelah mengikuti seminar, workshop, simulasi, dan belajar bencana dari tempat wisata, diharapkan dapat meningkatkan kapasitas dan kesadaran seseorang dalam bertindak dengan keputusan yang tepat dalam upaya pengurangan risiko bencana. Hal ini sesuai dengan konsep ‘Tangga Pengetahuan’ yang digagas oleh North dan Kumta (2014) yang menggambarkan bagaimana pengetahuan eksplisit berupa know-what kemudian diinternalisasi menjadi pengetahuan tasit know-how. Jika awalnya seseorang hanya mengetahui makna dan konteks tentang sesuatu hal, maka dengan mengaplikasikan/mempraktekkan pengetahuan tersebut, dapat memberikan motivasi untuk melakukan tindakan atau keputusan. Kesuksesan dari ‘Tangga Pengetahuan’ adalah ketika seseorang dapat bertindak dengan keputusan yang tepat untuk menyelamatkan nyawa, salah satumya adalah menyelamatkan nyawa dari bencana.

 

Referensi:

Fussel. H. Martin. 2007. Vulnerability: A Generally Applicable Conceptual Framework for Climate Change Research. Global Environment Change, 17 : 155-167.

North, K., & Kumta, G. (2014). Knowledge Management – Value Creation Through Organizational Learning. New York, NY: Springer International Publishing.

Oktari, RS. 2016. Pengetahuan Yang Menyelamatkan. Smong News. UPT Mitigasi Bencana Universitas Syiah Kuala. :6.

Paripurno, Eko, Teguh et. al. 2011. Panduan Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas, Jakarta: Masyarakat Penanggulanagan Bencana Indonesia. Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman, 2011, Surat Keputusan Bupati Sleman Nomor 253/kep KDH/A/2011 tentang Penggabungan dan Ganti Nama Kelembagaan Sekolah Dasar.

Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.

 

 

Penulis : Muhammad Arifin

Editor   : Suci Innaqa

 

*karya ini merupakan salah satu tulisan yang masuk dalam kegiatan IYDRR bertajuk #CerdasBencana

 

 

Memahami Pesan Para Leluhur

Oleh: Santi Ariska

KAILI

Apa sih yang diperlukan untuk mendapatkan keselamatan dan tujuan? Jawabannya hanya satu, DUIT. Doa Usaha Ikhtiar Tawakal. Doa sebagai pengharapan atau permintaan kita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang dibarengi dengan usaha atas apa yang kita inginkan, ikhtiar dengan berbagai cara. Setelahnya, kita akan tawakal atas apa yang kita dapatkan.

Dalam mengantisipasi bencana, tentu kita berdoa agar senantiasa diberikan keselamatan dari segala bentuk ancaman. Lalu selain berdoa, apa yang kita lakukan? Toh, bukannya doa adalah sesuatu yang mujarab dalam menjalani hidup ini? Allah SWT saja bilang, “Mintalah kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan.”

Tidak semudah itu Perguso~

Allah SWT atau Tuhan-Tuhan lain yang diyakini oleh manusia tentu tidak akan mengabulkan semua doa kita, jika tidak baik untuk kita. Dia Maha Mengetahui hal-hal yang terbaik untuk kita, sehingga terkadang tidak semua doa dikabulkan -atau bahkan lama dikabulkan.

Jadi kalau misalnya ada bencana, lalu kita berdoa, –tapi Tuhan tahu doa atau permintaan kita tidak baik untuk kita, trus tidak dikabulkan, dan kita mati dalam bencana itu bagaimana? Hanya Dia Sang Maha Mengetahui, bila itu terjadi.

Ingat, setelah berdoa ada usaha dan ikhtiar. Salah satu usaha yang dapat kita (iya kita, aku dan kamu #eh) lakukan adalah memahami pesan yang telah diberikan oleh para leluhur terdahulu.

Belajar dari peristiwa G 28 S Palu, terjadi teror yang tidak hanya mengguncang Palu Sulawesi Tengah, tetapi juga Indonesia dan dunia. Banyak orang yang saling menyalahkan, menyalahkan kebudayaan dan perilaku yang lupa akan ketuhanan.

Bumi yang kita cintai ini telah berumur jutaan tahun, dan telah banyak generasi yang menempatinya. Generasi-generasi terdahulu dapat membaca proses alam yang terjadi. Sebagai contoh adalah suku Kaili di Sulawesi Tengah. Konon, Kota Palu sekarang adalah laut pada masa lalu yang terangkat dan menjadi daratan. Bagi Suku Kaili, terdapat himbauan untuk tidak lama-lama berada di Palu, “Sudah… kalau ke Palu 7 hari saja!”.

Banyak legenda yang dikisahkan oleh Suku Kaili, salah satunya kisah anjing dan ular naga. Si ular naga marah karena si anjing menggigit ular naga, dan si anjing ditarik di sepanjang Sesar Palu-Koro berada saat ini.

Bukan hanya legenda, Suku Kaili juga memiliki konsepsi kehidupan yang tangguh bencana. Seperti yang disampaikan oleh Mohammad Marzuki, staf pengajar Prodi Antropologi Universitas Tadulako, Suku Kaili memiliki kata-kata terkait bencana. Kata-kata seperti Topalu’e yang berarti tanah yang bergerak, Bombatalu adalah pukulan tiga gelombang laut yang menghancurkan, Linu yang berarti gempa atau getaran keras yang menghentak serta Nalodo yang berarti tanah yang menghisap atau tanah lumpur yang mengubur/terkubur di bawah tanah yang hancur.

Sistem zonasi dalam ruang kehidupan juga memperlihatkan bagaimana Suku Kaili siap menghadapi bencana. Lokasi untuk tempat tinggal, ruang produksi, ruang sosial, dan ruang ritual berada di tempat terpisah dan hal itu tidak bisa dilanggar. Suku Kaili juga telah mengenal konsep lumbung, yaitu Gampiri. Suku Kaili mengembangkan manajemen krisis sistem penyimpanan hasil produksi. Ada dua bentuk gampiri, yaitu gampiri kampung (Boya) dan gampiri keluarga yang letaknya bisa dibangun di talua atau di belakang rumah tinggal.

Siklus bencana yang cenderung berulang telah didokumentasikan dengan penamaan daerah rawan bencana tersebut. Kata Kaili sendiri diambil dari nama pohon yang sangat besar dan tinggi yang dapat terlihat dari pantai. Ada kata Beka yang berarti tempat yang terbelah, Balaroa yang berarti bencana yang melanda banyak orang. Bangga berarti terendam, Duyu berarti longsor, dan Talise diambil dari nama pohon yang banyak tumbuh di kawasan bibir pantai.

Menurut cerita, lokasi kejadian bencana pada 28 September 2018 di Palu telah lama ditinggalkan oleh Suku Kaili, karena daerah tersebut memang rawan bencana.

Kenapa tanah yang ditinggalkan kembali ditempati? Mungkin orang sekarang tidak mengetahui daerah tersebut rawan bencana, atau mungkin terlalu abai akan pesan yang telah disampaikan?

Sudah saatnya, selain berdoa kita (iya kita, aku dan kamu #eh) menghormati dan mempertimbangkan kearifan lokal. Kita tidak dapat menghindari bencana, tetapi kita bisa hidup harmonis dengan bencana.

 

Penulis : Santi Ariska

Editor   : Suci Innaqa

*karya ini merupakan salah satu tulisan yang masuk dalam kegiatan IYDRR bertajuk #CerdasBencana

Langkah Sederhana Penyebaran Pengetahuan Bencana

Oleh: Ryan Mirza Ibrahim

RYAN MIRZA

Bencana bisa terjadi kapan dan di mana saja. Tetapi, kerugian dari bencana bisa diminimalkan jika kita mengetahui langkah-langkah yang harus dilakukan dalam upaya mengantisipasi bencana. Kita sebagai manusia, tentunya memiliki akal dan pikiran yang diberikan Tuhan sebagai suatu potensi. Maka dari itu, kita pun harus bertanggung jawab untuk menjaga agar akal pikiran tetap sehat.

Salah satunya dapat dilakukan dengan menimba pengetahuan, terutama apabila pengetahuan tersebut dapat berguna bagi banyak orang. Termasuk juga di dalamnya pengetahuan terkait dengan kebencanaan. Walaupun kita sudah berdoa kepada Tuhan untuk diselamatkan, tapi apakah keimanan kita cukup kuat untuk ‘meyakinkan’ Tuhan agar menyelamatkan kita? Tuhan memang menginginkan kita agar selalu berdoa karena hal tersebut merupakan suatu kewajiban mutlak manusia untuk mensyukuri apa yang telah diberikan oleh-Nya. Lalu, apakah kewajiban kita hanya berdoa saja? Bukankah kita juga berkewajiban untuk saling tolong menolong?

Sebenarnya sudah banyak masyarakat yang peduli dan berbondong-bondong membantu setelah terjadinya bencana. Namun, sayangnya minim sekali orang yang peduli guna untuk mempersiapkan diri sebelum sebuah bencana terjadi. Menyebarluaskan pengetahuan dan informasi terkait kebencanaan sebetulnya juga merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi  bencana. Upaya ini menjadi penting dalam rangka keselamatan dan membangun kesiapsiagaan sebelum terjadi bencana.

Sebetulnya, banyak anggota masyarakat yang sudah memiliki pengetahuan dan kemampuan terkait pengurangan risiko bencana (PRB). Namun terkadang, informasi ini hanya berhenti pada tingkat individu semata. Padahal masih banyak anggota masyarakat lain yang membutuhkan pengetahuan tersebut. Untuk mengatasi kesenjangan informasi ini, alangkah baiknya apabila informasi terkait PRB dapat dibagikan setidaknya kepada orang terdekat terlebih dahulu, seperti kepada keluarga, tetangga, dan sahabat. Hal ini dapat dilakukan dengan sangat sederhana, misalnya dengan mengangkat kejadian bencana yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia sebagai bahan obrolan santai. Suasana diskusi informal antar anggota keluarga dan teman ini dapat menjadi pintu masuk untuk menekankan  pentingnya usaha-usaha PRB dalam kehidupan keseharian kita.

Selain menyebarluaskan informasi kepada masyarakat umum, kita juga perlu memberikan perhatian khusus kepada anggota masyarakat penyandang disabilitas. Walaupun mereka merupakan termasuk kelompok rentan yang harus diprioritaskan dalam kejadian bencana, namun sebenarnya mereka juga memiliki kemampuan untuk mengurangi risiko bencana sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya. Maka dari itu, tugas kita adalah menyediakan informasi terkait PRB dalam berbagai format agar dapat diakses oleh seluruh anggota masyarakat, terutama para penyandang disabilitas. Misalnya, dengan membantu menjelaskan secara verbal informasi terkait PRB kepada teman-teman yang tuna netra, atau bahkan lebih baik lagi dengan menyediakan buku saku dalam format huruf braille. Meskipun kebijakan terkait penanganan, perlindungan, dan partisipasi penyandang disabilitas dalam penanggulangan bencana sudah diatur dalam Peraturan Kepala BNPB Nomor 14 tahun 2014, namun sayangnya saat ini keterlibatan aktif para penyandang disabilitas masih kurang maksimal.

Berdoa tentu sangatlah penting dalam menghadapi bencana. Namun dengan menerapkan serta menyebarluaskan pengetahuan terkait PRB, maka sebenarnya kita juga sedang meningkatkan keimanan untuk ‘meyakinkan’ Tuhan bahwa kita memang sungguh-sungguh ingin diselamatkan. Hanya Tuhan lah yang dapat mengubah dan menetapkan takdir, tapi sebagai makhluk yang memiliki akal dan potensi, maka kita berkewajiban untuk menjaga, menjalankan dan memanfaatkan apa yang telah diberikan.

 

 

Penulis  : Ryan Mirza Ibrahim

Editor    : Danang Nizar/ Fajar Shidiq

 

*karya ini merupakan salah satu tulisan yang masuk dalam kegiatan IYDRR bertajuk #CerdasBencana

Wisatawan Tanggap Bencana

Oleh: Puji Hastuti1  dan Nurida Maulidia2

1 Peneliti Ekologi Manusia Pusat Penelitian Kependudukan LIPI

2 Relawan Edukasi Bencana Komunitas StarSide

double agent traveler-dark

Ilustrasi oleh penulis. Penulis terinspirasi dari kecakapan Tagana dalam pengetahuan terkait kebencanaan dan ketika melakukan respon darurat.

Layaknya supermarket bencana, berbagai bencana terjadi di Indonesia, baik yang sifatnya geologi maupun hidrometeorologi. Posisi tepat berada pada patahan tiga lempeng tektonik sekaligus kawasan Cincin Api Pasifik (Ring of Fire), menyebabkan Indonesia rentan terpapar gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, dan berbagai jenis bencana geologi lainnya. Namun, dibalik banyaknya bahaya yang mengancam, Indonesia memiliki pesona alam dan budaya yang tak tertandingi. Hal ini tentunya mampu menarik hati wisatawan lokal maupun mancanegara, walaupun seringkali berlangsungnya aktivitas wisata masih mengabaikan risiko bencana. Wisatawan perlu sadar terhadap potensi bencana di daerah wisata yang akan dikunjungi, agar apa yang baru saja terjadi di Pandeglang-Banten pada akhir Desember 2018 lalu tidak terjadi lagi.

Pada bencana yang terjadi di Pandeglang-Banten, Badan Penanggulangan Nasional Bencana (BPNB) mencatat terdapat 437 korban tewas, 1.495 orang luka-luka, 159 orang hilang, dan 21.991 orang yang mengungsi di berbagai daerah. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, bahwa kebanyakan korban tewas adalah wisatawan. Hal ini mengingat bencana terjadi pada tanggal 22 Desember 2018, yang mana masuk dalam suasana libur panjang akhir pekan, cuti bersama, dan libur Natal. Ditambah lagi, di Kabupaten Pandeglang terdapat kawasan wisata Tanjung Lesung yang menjadi tujuan wisata sebab menyimpan potensi keindahan pantai dan alam bawah laut yang beraneka ragam.

Berkaca dari kejadian tersebut, khususnya untuk daerah wisata, maka kita perlu memberi perhatian lebih kepada dua bencana biasanya terjadi secara tiba-tiba (disastrous surprises) (Marten 2001 dalam Abdoellah (2017: 220)), yaitu gempa bumi dan tsunami. Kedatangan kedua bencana tersebut menjadi ancaman yang mengerikan sebab ketiadaan gejala yang pasti. Terlebih lagi, gempa bumi dan tsunami sendiri mengancam daerah wisata yang wilayahnya berdekatan dengan pesisir. Secara tidak langsung kedua bencana ini merupakan hambatan dan masalah dalam dunia pariwisata bahari Indonesia.

Menurut CIA World Factbook, Indonesia memiliki total garis pantai nomor dua terpanjang setelah Kanada, mencapai 80.000 km dan luas laut yang mencapai sekitar 3,1 juta km2. Namun penggunaan teknologi deteksi dini gempa dan tsunami masih sangat jauh tertinggal. Padahal, berdasarkan Kajian Data Pasar Wisatawan Nusantara oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pariwisata, tujuh dari sepuluh destinasi wisata prioritas Indonesia mengunggulkan ragam potensi bahari. Jaminan terhadap keselamatan wisatawan di destinasi-destinasi tersebut tentunya harus menjadi yang utama. Oleh karena itu, membangun wisata bahari yang aman bagi wisatawan perlu didukung dengan tata kelola risiko bencana berfokus pada masyarakat (people-centered) yang melibatkan semua pihak, seperti wisatawan, masyarakat lokal, Organisasi Perangkat Daerah (OPD), pelaku usaha wisata, dan pemerintah di tingkat lokal. Tata kelola risiko bencana dapat dilakukan dengan menyasar kepada wisatawan dan pelaku bisnis wisata. Untuk wisatawan dapat diberikan pembinaan atau pendidikan tanggap bencana, sedangkan kepada pelaku bisnis perlu ditunjang dengan adanya kebijakan dari pemerintah untuk mengatur ketersediaan fasilitas wisata (baik dalam bentuk layanan maupun infrastruktur) yang tersertifikasi siaga terhadap bencana.

Persiapan Sebelum Berwisata

Selain mempersiapkan bekal dalam berwisata, wisatawan juga perlu untuk membekali diri dengan pengetahuan mengenai bencana yang dapat terjadi di wisata pesisir pantai, yaitu gempa bumi dan tsunami. Kenali apa dan bagaimana gempa bumi dan tsunami dapat terjadi, dan pahami bahwa korban umumnya disebabkan karena tertimpa reruntuhan bangunan, perabotan, kebakaran, longsor, likuefaksi, dan kepanikan. Selain itu, bekali diri dengan perilaku tanggap bencana dengan belajar melakukan Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K), belajar menggunakan alat pemadam kebakaran, dan mencatat nomor telepon penting kedaruratan yang dapat dihubungi pada saat terjadi bencana. Perlu diketahui bahwa alat yang harus ada di setiap tempat antara lain adalah kotak P3K, senter atau lampu baterai, makanan suplemen, dan air minum.

Selain yang telah disebutkan di atas, terdapat pula beberapa kemungkinan kondisi dan posisi ketika terjadi bencana gempa bumi dan tsunami, yaitu:

  1. Jika berada di luar bangunan atau area terbuka, hindari bangunan dengan konstruksi yang mudah runtuh. Perhatikan tempat Anda berpijak dan hindari apabila terjadi rekahan tanah.
  2. Apabila sedang mengendarai mobil segera keluar, turun dan menjauh dari mobil. Segera menjauh ke tempat kosong atau lapang. Hindari apabila terjadi rekahan tanah dan kebakaran.
  3. Jika berada di pantai, jauhi pantai menuju ke tempat yang lebih tinggi untuk menghindari gelombang tsunami.
  4. Jika berada di daerah pegunungan, hindari daerah yang mungkin terjadi longsoran.
  5. Apabila wisatawan sedang berada di lautan, pergerakan yang aman ialah menuju lautan yang lebih dalam sebab tinggi gelombang tsunami di lautan dalam hanya setinggi sepuluh sentimeter dengan kecepatan rambat gelombangnya mencapai ratusan km/jam.

Berdasarkan gambaran situasi dan kondisi yang memungkinkan terjadinya bencana seperti yang dijelaskan di atas, maka wisatawan juga perlu mengenali jalur evakuasi bencana.

Kenali Jalur Evakuasi Bencana

Wisatawan harus menyadari tanggung jawab atas keselamatan diri di tempat asing melalui kesiapsiagaan diri, dalam hal ini akibat timbulnya bencana di pesisir pantai. Sesampainya di destinasi wisata, selain membuat daftar tempat-tempat instagramable untuk berfoto, seyogianya wisatawan harus memetakan titik-titik rawan bencana gempa dan tsunami di pesisir pantai. Hal ini penting untuk dilakukan agar wisatawan mampu mengidentifikasi tempat aman dan jalur evakuasi saat terjadinya bencana, baik ketika di luar maupun dalam gedung. Pada saat di dalam gedung perhatikan letak pintu, lift, serta tangga darurat. Hal ini menjadi penting karena apabila terjadi gempa bumi, kita sebaiknya sudah mengetahui tempat paling aman untuk berlindung. Pahami bahwa penyebab celaka yang paling banyak pada saat gempa bumi adalah akibat tertimpa reruntuhan benda material. Dengan pengetahuan yang baik mengenai hal ini, diharapkan dapat mengurangi kondisi panik pada wisatawan saat terjadinya bencana.

Perilaku Saat Terjadi Bencana

Penting untuk diingat, bahwa mayoritas bencana tsunami biasanya akan diawali dengan bencana gempa bumi. Apabila wisatawan merasakan guncangan gempa, diharapkan dapat langsung tanggap untuk menuju jalur evakuasi yang mengarah pada dataran tinggi. Bersumber dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), terdapat tiga langkah tanggap gempa, atau yang biasa disebut dengan 3B, apabila posisi masih berada di dalam gedung, antara lain:

  1. Berlutut agar tubuh seimbang, sehingga tidak terjatuh akibat getaran gempa.
  2. Berlindung agar kepala aman dari bahaya benturan.

Lindungi kepala dan badan Anda dari reruntuhan bangunan dengan benda sekitar (misal bantal, buku tebal, dan lain lain). Usahakan mencari tempat yang aman dari reruntuhan (misal bersembunyi di bawah meja, berlindung di samping kasur tinggi, mesin cuci, atau benda kuat lainnya yang bisa memantulkan benda jatuh agar tidak mengenai Anda).

  1. Bertahan dan berpegangan hingga gempa berhenti.

Lari keluar apabila masih dapat dilakukan.

Apabila bukit dan dataran tinggi sulit dijangkau, wisatawan dapat pula berlindung pada bangunan tinggi berlantai dua sebagai alternatif evakuasi penyelamatan diri dari terjangan gelombang tsunami. Namun, perlu dipastikan bahwa bangunan tersebut dapat berdiri kokoh. Inilah arti penting dari sertifikasi bangunan tahan bencana yang menjadi program yang diusung oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Namun sayangnya, program ini belum memiliki fokus kepada sertifikasi bangunan di sektor wisata. Alternatif penyelamatan lain adalah dengan memanjat pohon agar setidaknya tubuh mampu berpegangan kokoh sehingga tidak terombang-ambing oleh tsunami, mengingat tsunami biasanya terjadi lebih dari satu kali sapuan gelombang. Namun apabila tubuh terbawa sapuan gelombang tsunami, usahakan untuk segera mencari benda hanyut yang dapat dijadikan tumpuan untuk mengapung seperti kayu, batang pisang, jerigen, botol air mineral, ban mobil, maupun barang-barang lainnya yang dapat mengambang.

Pembelajaran dari tsunami Aceh (Yulianto, dkk. hlm.5), pengetahuan lokal smong menjadi penyelamat warga di Simeulue. Pengetahuan lokal tersebut merupakan pesan leluhur yang berisi petunjuk apabila terjadi gempa bumi kuat diikuti oleh surutnya air laut maka harus segera lari ke bukit atau tempat yang lebih tinggi. Sebab, waktu tempuh getaran gempa hingga dapat memicu gelombang tsunami sampai pada tepian pantai rata-rata hanya butuh waktu 30 menit. Lain halnya apabila wisatawan sedang berada di lautan, justru pergerakan yang aman ialah menuju lautan yang lebih dalam sebab tinggi gelombang tsunami di lautan dalam hanya setinggi sepuluh sentimeter dengan kecepatan rambat gelombang mencapai ratusan km/jam. Pergerakan ke arah perairan dangkal sampai pantai justru seperti berkejaran dengan gelombang tsunami yang besar akibat kecepatan rambat gelombangnya berkurang membuat gelombang tsunami bertambah besar.

Tata Kelola Risiko Bencana

Apabila keselamatan wisatawan menjadi sebuah prioritas bersama, maka pengelolaan risiko bencana harus dilakukan secara optimal dan terencana. Pengingkaran keselamatan hanya demi meraup untung dari kuantitas kunjungan wisatawan tak ubahnya menjadi retorika semu dunia pariwisata. Tindakan ini mempertaruhkan petaka duka atas bencana yang mengancam keselamatan jiwa. Semestinya, pembelajaran dari bencana tsunami di pesisir Kabupaten Pandeglang mengingatkan kita bahwa pengingkaran risiko bencana untuk menjaga kestabilan kunjungan wisatawan berdampak pada tingginya jumlah korban jiwa yang berasal dari pengunjung wisata. Risiko bencana sebenarnya bisa dikelola dengan baik jika terbangun sinergi dari pelaku wisata, baik pemangku kepentingan dari sektor kebencanaan maupun pariwisata dari setiap kementerian, badan, dan lembaga, di tingkat pusat maupun daerah.

Setiap pelaku dan pemangku kepentingan pariwisata hendaknya mewajibkan pengetahuan kesiapsiagaan bencana, baik dalam segi pelayanan maupun infrastruktur dalam bentuk lisensi prosedur operasi standar. Lisensi ini akan membangun budaya tanggap bencana bagi kelompok pendukung pariwisata. Pembelajaran dari Bali, sejak tahun 2013 Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bali bersama 26 instansi lain, termasuk BMKG dan Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), melakukan sertifikasi kesiapsiagaan bencana kepada pelaku wisata dan usaha komersial. Pelaku wisata mendapat sertifikat siaga bencana jika seluruh karyawannya telah mengikuti pelatihan. Dengan begitu, selain karyawan dapat menyelamatkan diri, mereka juga dilatih untuk mengevakuasi tamu. Selain itu, para tamu dapat dengan mudah melakukan evakuasi mandiri sebab telah terpasang peta evakuasi dalam membantu mengetahui jalur penyelamatan diri. Dari sisi pemasaran, hotel bersertifikat siaga bencana sebenarnya juga dapat menambah nilai komersial yang dapat ditawarkan pada tamu.

Jadi apa yang kita tunggu? Marilah pemerintah dan masyarakat bersatu-padu membangun budaya tamasya yang tanggap bencana. Liburan yang aman pasti akan lebih menyenangkan.

Daftar Referensi

Abdoellah, Oekan S. 2017. Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Penerbit GPU

Ananta, Yanurisa. 2018.      BNPB: Banyak Wisatawan Jadi Korban Tsunami Selat Sunda. CNBC Indonesia (26 Desember 2018). https://www.cnbcindonesia.com/news/2018122614 2618-4-48010/bnpb-banyak-wisatawan-jadi-korban-tsunami-selat-sunda

Arif, Ahmad. 2019. Keindahan nan Berbahaya. Kompas Cetak (edisi Kamis, 3 Januari 2019).

CNN Indonesia. 2018. Korban Tewas Tsunami Selat Sunda Mayoritas Wisatawan. CNN Indonesia (31 Desember 2018) https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181231145505-20-357548/korban-tewas-tsunami-selat-sunda-mayoritas-wisatawan

BPS, Kementerian Pariwisata. 2017. Kajian Data Pasar Wisatawan Nusantara. http://www.kemenpar.go.id/userfiles/Publikasi%20Kajian%20Data%20Pasar%20Wisnus%202017.pdf

Kemenpar.go.id. 2014. Siaran Pers Seminar Nasional Pariwisata Bahari Indonesia: Harmonisasi Pertumbuhan Ekonomi, Kesejahteraan dan Pelestarian Lingkungan

Yulianto, Eko, dkk. (Tanpa Tahun) Selamat dari Bencana Tsunami, Pembelajaran dari Tsunami Aceh dan Pangandaran. Jakarta Tsunami Information Centre (JTIC) UNESCO House.

Gempa bumi dan Tsunami [Leaflet]. (n.d) Jakarta: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geografi.

Apa yang harus anda lakukan sebelum, saat, dan sesudah gempa bumi terjadi? [Leaflet] . (n.d) Jakarta: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geografi.

3 langkah Tanggap Tsunami [Leaflet]. (n.d) Jakarta: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geografi.

 

 

Penulis   : Puji Hastuti/ Nurida Maulidia

Editor    : Danang Nizar

 

*jurnal ini merupakan salah satu tulisan yang masuk dalam kegiatan IYDRR bertajuk #CerdasBencana

BENCANA DAN MEDIA SOSIAL

Oleh: Ahmad Khoirul

WhatsApp Image 2019-02-21 at 04.19.13

Kemajuan teknologi sangat dirasakan dampaknya oleh semua kalangan masyarakat, baik dari anak-anak, remaja maupun dewasa, serta dari kalangan menengah bawah hingga atas. Kemajuan teknologi menjadi penunjang dalam setiap aspek kehidupan, karena mempermudah masyarakat dalam berkomunikasi satu dengan yang lain. Dahulu, masyarakat pedesaan berkomunikasi dengan sanak saudara yang berada di perantauan melalui surat menyurat atau lewat warung telpon (wartel). Namun, saat ini hampir setiap orang minimal sudah memiliki telepon genggam (handphone) atau bahkan telepon pintar (smartphone) untuk berkomunikasi dengan sanak saudaranya. Kemajuan teknologi mengakibatkan mudahnya seseorang mendapatkan informasi dan menyebarkan informasi ke publik. Hanya dengan satu klik saja, seseorang sudah mampu mendapatkan informasi yang diinginkan dan membagikan informasi tersebut kepada khalayak ramai. Anak kecil yang masih berada dibawah umur pun sudah mampu untuk mengakses sebuah informasi melalui smartphone orang tuanya. Ini menandakan bahwasanya kemajuan teknologi sudah dirasakan oleh semua kalangan.

Media sosial memiliki peran yang sangat penting dalam pergerakan arus informasi. Menurut We Are Social, sebuah platform sosial startup digital asal Inggris, rata-rata orang Indonesia menghabiskan 3 jam 23 menit untuk mengakses media sosial. Ini menandakan bahwasanya smartphone menjadi barang paling berharga saat ini. Smartphone telah menjadi kebutuhan utama untuk mendapatkan informasi yang diinginkan baik melalui media sosial maupun kanal informasi lainnya. Untuk mendapatkan informasi saat ini sangatlah mudah, melalui aplikasi seperti Whatsapp atau berita yang dibagikan melalui grup maupun secara pribadi tak terhitung jumlahnya. Hal yang serupa pun terjadi pada aplikasi lainnya seperti Instagram, Facebook, maupun Twitter. Akan tetapi, dari semua informasi yang didapatkan tidak semuanya benar. Banyak berita yang dibagikan melalui media sosial yang ternyata merupakan berita bohong atau hoaks. Seiring dengan mudahnya pergerakan arus informasi, sayangnya masyarakat juga dengan mudahnya mempercayai informasi yang diterima tanpa menyaring kebenarannya terlebih dahulu. Ini mengakibatkan banyak tersebarnya hoaks yang meresahkan masyarakat, terutama apabila informasi tersebut terkait dengan bencana. Banyak masyarakat dengan mudah percaya akan adanya berita bencana yang disebar melalui media sosial tanpa menyaring kebenarannya terlebih dahulu.

Tahun 2018 menjadi tahun yang panjang bagi Indonesia. Bencana melanda secara beruntun. Mulai dari gempa bumi di Lombok, diikuti bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi yang terjadi di Palu, Donggala dan Sigi. Di penghujung tahun 2018, terjadi lagi tsunami di Banten dan Lampung, tanpa ditandai oleh gempa terlebih dahulu. Kemudian, pada tahun 2019 rentetan bencana kembali datang secara bergiliran di berbagai wilayah di Indonesia. Terjadinya bencana alam di Indonesia menjadi berita utama di stasiun televisi dan media sosial. Namun, sangat disayangkan banyak pula hoaks yang tersebar di media sosial dan mengakibatkan keresahan masyarakat. Jenis informasi yang mereka sebar di antaranya prediksi akan terjadinya gempa bumi berkekuatan besar di suatu tempat dan beberapa berita lainnya. Dengan sigap, tak membutuhkan waktu yang lama bagi aparat penegak hukum untuk bergerak menangkap penyebar berita bohong tersebut.

Masyarakat perlu mengetahui, bahwa bencana alam, khususnya gempa bumi, belum sepenuhnya dapat diprediksi menggunakan teknologi yang ada. Sebagai contoh, teknologi pendeteksi tsunami yang sekarang umum digunakan pun belum mampu memperkirakan kapan akan terjadinya tsunai dengan ketinggian sepersekian meter. Bahkan, di Indonesia alat-alat pendeteksi dini tsunami banyak yang sudah rusak. Tsunami yang terjadi di Palu dan Banten tidak mampu terdeteksi dikarenakan oleh kondisi alat yang rusak.

Lalu, sebagai masyarakat yang hanya mampu menerima informasi, apa yang harus kita lakukan? Tentunya dengan cerdas dalam bermedia sosial. Hindari meneruskan informasi sebelum melakukan konfirmasi akan kebenarannya terlebih dahulu. Dengan menyaring berita yang kita dapatkan dari media sosial, diharapkan dapat membantu masyarakat lainnya untuk memperoleh informasi yang benar. Selain itu, kita juga dapat memantau informasi yang dikeluarkan oleh lembaga media yang berkompeten.

Mari kita bijak dalam menggunakan media sosial!

 

 

Referensi:

https://nasional.tempo.co/read/1132840/polisi-tangkap-8-tersangka-penyebar-berita-hoax-bencana-alam

https://tekno.kompas.com/read/2018/03/01/10340027/riset-ungkap-pola-pemakaian-medsos-orang-indonesia

 

Penulis : Ahmad Khoirul

Editor   : Danang Nizar

*karya ini merupakan salah satu tulisan yang masuk dalam kegiatan IYDRR bertajuk #CerdasBencana

Ceritaku tentang Bencana

Oleh: Gioveny Astaning Permana

WhatsApp Image 2019-02-21 at 04.25.24

Perkenalkan nama saya Veny.

Gerakan #CerdasBencana yang mengangkat tema “Selain Berdoa, Apa yang Bisa Dilakukan Untuk Mengantisipasi Bencana?”, tak hanya “memantik’ pemuda dan masyarakat umum, namun juga saya, seorang ibu rumah tangga yang sedang asyik merawat buah hati, freelance blogger, sekaligus alumni Manajemen Bencana Universitas Pertahanan.  Pekerjaan rumah yang saya tekuni membuat saya banyak lupa dengan hal-hal yang berkaitan dengan materi kuliah dahulu, membuat ilmu yang saya dapatkan ‘menguap’. Hal ini membuat saya sadar, kondisi ini tidak boleh dibiarkan terlalu lama karena sebaik-baiknya manusia kan yang bermanfaat bagi orang lain toh?

Waktu yang lebih banyak saya habiskan di rumah, membuat saya sering memantau berita di televisi dan ponsel. Sampai akhir tahun 2018, banyak sekali bencana yang ‘mampir’ ke negara kita tercinta ini. Di sini, saya akan menuliskan pengalaman keluarga saya, saat menghadapi salah satu bencana yang terjadi pada tahun 2018 lalu.

Akhir tahun 2018, kembali Indonesia dikejutkan oleh kejadian bencana yang tidak disangka, gelombang tinggi dan tsunami, yang disebabkan oleh runtuhnya salah satu Gunungapi Anak Krakatau. Ayah saya, yang tengah mengikuti rapat akhir tahun bersama dengan rekan-rekan kerjanya di salah satu hotel di Anyer, dikejutkan oleh hempasan dan terjangan air laut yang tinggi yang melanda kawasan pesisir Anyer, Provinsi Banten. Alhamdulillah, setelah berhasil menghubungi Ayah dan mendapat respon, Ayah dan rekan-rekannya tidak menjadi korban dalam kejadian tersebut. Saya yang berada di rumah, mengikuti perkembangan informasi kejadian melalui cuitan Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di Twitter.

Keesokan harinya, ternyata kejadian di Anyer diberitakan sebagai tsunami. Rasa khawatir kembali muncul dan langsung saya kontak kembali Ayah. Ternyata, beliau dalam perjalanan pulang bersama rombongan rekan kerjanya meninggalkan Anyer. Malam harinya, kami melakukan video call, Ayah pun bercerita bahwa saat kami berkomunikasi via telepon seluler kemarin, keadaan di sana sedang panik dan sudah banyak korban. Beliau pun ikut wara-wiri mengantarkan korban ke klinik dengan mobil ambulans. Batin saya pun mencelos. Ya Allah, Alhamdulillah kami masih bisa kumpul kembali dalam keadaan selamat dan sehat.

Saya belajar banyak dari pengalaman ayah. Dalam keadaan seperti itu, setelah berdoa kita tidak boleh panik. Jika kita ikut panik, maka kita tidak bisa berpikir jernih. Tidak semudah dituliskan memang, karena mungkin kita terbiasa panik dalam situasi tak terduga. Itulah salah satu manfaat kesiapsiagaan dalam bencana, yang membuat kita siap untuk selamat. Setelah kita selamat, maka kita bisa berpikir lebih jauh untuk membantu orang lain. Orang yang yakin bahwa Tuhan memberikan musibah dengan maksud tertentu, juga harus yakin bahwa dirinya mampu dan siap menghadapi hal-hal tak terduga dalam kehidupan, seperti bencana.

Sebagian orang yang dikarunai akal untuk berpikir, bencana adalah musibah yang Tuhan berikan karena manusia lalai dalam bersyukur dan beribadah kepada Tuhan. Namun, bukan berarti kita tidak bisa melakukan sesuatu untuk selamat dari bencana. Dalam ilmu kebencanaan, istilah pengurangan risiko bencana sudah bukan hal asing lagi. Saat kita memahami risiko-risiko yang akan dihadapi, maka kita wajib mengetahui upaya-upaya apa saja yang dapat kita lakukan untuk mengurangi risikonya. Sederhananya, segala masalah bisa teratasi jika kita mau mempersiapkan diri. Jadi, saat hal yang tak terduga seperti bencana datang, kita paham harus berbuat apa. Hal ini mungkin akan terasa sulit dilakukan jika kita cenderung pasrah dan tidak mempersiapkan diri untuk selamat.

Contohnya, dalam penelitian tesis yang saya lakukan di Sukamakmur Kabupaten Bogor, masyarakat di wilayah tersebut telah mengetahui bahwa tempat tinggal mereka termasuk daerah yang rawan longsor. Mereka mengatakan tidak memiliki pilihan lain untuk pindah, karena wilayah yang mereka tempati merupakan tanah warisan leluhur. Oleh karena itu, mereka tetap memilih membangun rumah di lereng-lereng gunung. Pada kasus semacam ini, upaya pengurangan risiko dapat dilakukan dengan menanam pohon yang berakar kuat dan memiliki dedaunan yang rimbun, sehingga bisa menjadi pelindung dari air hujan yang jatuh ke tanah. Selain itu, dapat juga  melakukan pemasangan teknologi sistem peringatan dini (early warning system). Berdasarkan hasil penelitian saya, sistem peringatan dini yang ada di wilayah Sukamakmur tidak lagi berfungsi. Hal ini dikarenakan masyarakat merasa alat tersebut menimbulkan kepanikan saat berbunyi. Hal-hal semacam ini tentunya memerlukan sosialisasi dan simulasi lebih lanjut. Urusan bencana bukan lagi dihadapi hanya dengan berdoa, namun berbagai upaya bisa dilakukan agar kita selamat saat bencana datang tak terduga.

 

 

Penulis  : Gioveny Astaning Permana

Editor    : Danang Nizar/Suci Innaqa

 

*karya ini merupakan salah satu tulisan yang masuk dalam kegiatan IYDRR bertajuk #CerdasBencana

Kancut

Oleh: Danang Nizar

WhatsApp Image 2019-02-21 at 00.35.28

 

Saat mendengar pertanyaan semacam “Selain berdoa, apa yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi bencana?”, refleks saya menjawab singkat: banyak. Sesederhana itu, karena memang banyak sekali yang bisa kita lakukan untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi bencana. Caranya pun beragam tergantung dari jenis ancaman bencananya. Mulai dari mengakrabkan diri dengan infografis terkait pengurangan risiko bencana (PRB), mengecek regulator tabung gas secara rutin untuk mencegah risiko kebakaran, sampai mendisiplinkan diri untuk mengetahui rambu evakuasi saat mengunjungi daerah rawan tsunami. Daftar ini tentu masih sangat panjang dan dapat dengan mudah didapatkan melalui berbagai kanal informasi.

Maka pada awalnya, saya pun berasumsi bahwa orang lain juga akan menjawab pertanyaan di atas dengan sederhana. Tapi ternyata respons yang ada tidak sesederhana yang dinyana. Banyak jawaban yang muncul justru akhirnya berkutat pada urusan-urusan ‘langit’: mengapa kita harus berdoa, manfaat berdoa, arti penting berdoa, dan hal semacamnya. Sementara kita tahu, tak ada urusan ‘langit’ yang sederhana. Berbagai respons tersebut tentu sah-sah saja. Namun yang menarik adalah, disadari atau tidak, jawaban semacam ini sebenarnya justru dapat menggiring kita untuk tidak menjawab esensi dari pertanyaan yang ada. Mirip seperti apabila kita mendiskusikan warna kancut (maaf) yang saat ini sedang saya gunakan. Diskusinya tentu bisa berkembang dan seru, memang. Tapi untuk apa? Bukan, tentu saya bukan sedang membandingkan urusan berdoa, yang urusannya dengan Yang Di Atas Sana, dengan urusan kancut yang di bawah sini, walaupun keduanya sama-sama bersifat sangat pribadi. Namun intinya, jangan sampai kita terkecoh untuk berjibaku pada hal-hal yang berada di luar ranah esensi. Misal pasca kejadian sebuah bencana, tak jarang kita jumpai di berbagai media sosial ‘analisa’ yang mengaitkan kejadian tersebut dengan moral para korbannya. Sementara berita terkait PRB masih adem-ayem saja sepi pembaca. Sulit memang, karena ini ibarat memilih antara mengikuti akun Lambe Turah atau Kompas di Instagram; jelas mana yang lebih seru, tapi sebetulnya jelas pula mana yang lebih perlu.

Kembali ke urusan pertanyaan di awal—ingat, jangan mudah terkecoh—sebenarnya para pendahulu kita telah memberikan contoh yang nyata akan ragam usaha yang dapat dilakukan untuk menghadapi bencana. Tengoklah masyarakat yang tinggal di sekitar lereng Gunung Merapi. Segala pantangan yang dijalankan, seperti pantang membangun rumah menghadap Gunung Merapi, sampai kebiasaan mengadakan selamatan, sebetulnya dapat diinterpretasikan sebagai sebuah tindakan untuk mengurangi risiko letusan yang mengintai; sederhananya, untuk selamat (Triyoga, 1991; Donovan, 2010). Dapat dikatakan bahwa masyarakat telah memiliki kesadaran risiko bencana yang cukup tinggi, yang pada akhirnya direspons melalui laku budaya dan adat istiadat setempat. Walaupun saat dihadapkan dengan sains efektivitas dari kegiatan tersebut dapat diperdebatkan. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa dengan pengetahuan dan konteks yang berlaku, mereka telah melakukan sesuatu. Hal semacam ini, atau yang biasa disebut dengan respons budaya, juga banyak ditemukan pada komunitas pegunungan di belahan dunia lainnya. Bahkan geomitologi—sebuah studi mengenai tradisi lisan yang berkaitan dengan fenomena geologi seperti letusan gunung api—telah menjadi sebuah sub-studi yang banyak menarik perhatian para peneliti dari berbagai ranah keilmuan, termasuk kebencanaan (Cashman & Cronin, 2008).

Maka sudah sepantasnyalah kita melakukan sesuatu untuk mengurangi risiko bencana yang ada di sekitar kita, mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh generasi terdahulu. Apalagi saat ini kita telah diberi kemudahan akan akses informasi yang berlimpah. Mungkin hanya satu hal yang membuat kita tertinggal dari masyarakat di lereng Gunung Merapi: ‘keakraban’ dengan ancaman bencana. Personifikasi letusan Gunung Merapi sebagai kegiatan ‘bebenah’ di Keraton Merapi, sehingga masyarakat harus menyingkir dan tahu diri, merupakan sebuah contoh kecil keakraban masyarakat dengan jenis ancaman bencana di sekitarnya (Nizar, 2013). Sementara kita, terkadang masih suka alpa akan lokasi pintu keluar darurat di gedung kantor atau bahkan tidak memiliki alat pemadam api ringan di rumah. Mari bersama kita lakukan sesuatu untuk mengurangi risiko bencana di sekitar kita, sekecil apa pun itu. Bukan untuk siapa-siapa, melainkan untuk keselamatan diri sendiri dan juga orang yang kita sayangi.

Mulai bertanyakah Anda mengapa tulisan ini berjudul ‘Kancut’, padahal kata tersebut hanya muncul dua kali sampai sejauh ini? Bukan, bukan karena bentuk kancut yang segitiga adalah bentuk yang paling umum dari logo lembaga kebencanaan. Tapi karena memang sesulit itulah membuat agar orang tertarik, melirik dan mengeklik sebuah artikel kebencanaan. Sampai-sampai kancut pun harus dijadikan pelecut agar Anda kepincut. Kena deh!

 

 

Referensi

Cashman, KV & Cronin, SJ. 2008. Welcoming a monster to the world: Myths, oral tradition, and modern societal response to volcanic disasters. Journal of Volcanology and Geothermal Research, vol. 176, no. 3, pp. 407-18.

Donovan, K. 2010. Cultural responses to volcanic hazards on Mt Merapi, Indonesia. Doctoral Thesis. University of Plymouth.

Nizar, D. 2013. Caring for the ‘Grandfather’: Bridging Indigenous Knowledge and Official Disaster Management Strategies’. Honours Thesis. University of Queensland.

Triyoga, LS. 1991. Manusia Jawa dan Gunung Merapi: Persepsi dan Sistem Kepercayaannya. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

 

 

Penulis  : Danang Nizar

Editor    :  Suci Innaqa

 

 

*karya ini merupakan salah satu tulisan yang masuk dalam kegiatan IYDRR bertajuk #CerdasBencana

Gelitik Pemikiran di Balik Tema: Selain Berdoa, Apa yang Bisa Dilakukan Untuk Mengantisipasi Bencana

Oleh: Tinitis Rinowati

WhatsApp Image 2019-02-21 at 00.35.29

 

Tanggal 10 Januari 2019 lalu, IYDRR mengajak para pemuda khususnya, dan masyarakat luas umumnya, untuk berkarya dalam kata demi mencerdaskan masyarakat sebagai salah satu bentuk upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Inisiatif gerakan bertajuk #CerdasBencana ini mengangkat tema “Selain Berdoa, Apa yang Bisa Dilakukan Untuk Mengantisipasi Bencana?”.

Tema ini berangkat dari rasa keprihatinan salah satu anggota IYDRR terhadap pernyataan pejabat publik, yang dalam suatu forum ilmiah awal 2017 lalu menjawab pertanyaan dengan ambiguitas makna doa. Pertanyaan tersebut seputar pemanfaatan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) bidang Pariwisata di kawasan Tanjung Lesung, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Lesung sebelumnya telah diatur berdasarkan PP No.26 Tahun 2012. Dan sejak 2015 lalu, resmi menjadi kawasan yang diperuntukkan bagi kegiatan usaha pariwisata, pendukung penyelenggaraan hiburan dan rekreasi, serta pertemuan dan kegiatan terkait lainnya.

Pertanyaan dilontarkan terkait risiko bencana di kawasan Tanjung Lesung yang diresmikan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) bidang pariwisata, yang berpotensi terhadap kejadian gempabumi, tsunami, dan banjir (Revisi RTRW Kabupaten Pandeglang 2011-2031). Di depan mimbar ilmiah para mahasiswa yang sebagian di antaranya tengah menggali keilmuan Strata Magister Program Studi Manajemen Bencana untuk Keamanan Nasional, pertanyaan tersebut dijawab dengan kalimat “Untuk bencana alam, kita bisa apa? Ya tinggal berdoa saja.”

Beberapa saat lalu, tepatnya Desember 2018, lokus pertanyaan ‘pemancing’ jawaban tersebut diuji dalam bentuk bencana alam gelombang tinggi dan tsunami. Teringat akan jawaban pejabat publik yang telah lama memegang berbagai jabatan kepemimpinan dari masa ke masa tersebut, menjadikan ‘pemantik’ dalam memaknai peran doa menghadapi bencana.

Berdoa yang tidak ditempatkan pada awal mula sebagai bagian dari kesungguhan, malah didahului frasa “kita bisa apa”, dapat mengecilkan makna upaya dari sekian banyak  pihak. Ribuan peneliti, pakar, teknokrat, relawan, masyarakat, bahkan lembaga pemerintahan yang bekerja keras dalam ikhtiar mereduksi risiko bencana. Upaya tersebut benar-benar diuji melalui kejadian longsor dan ambruknya salah satu sisi Gunungapi Anak Krakatau akibat aktivitas vulkanik, dan menimbulkan tsunami yang menjadi akhir usia ratusan manusia. Dua bencana alam, satu waktu, ratusan nyawa, ribuan dampak, disimplifikasi hanya pada satu upaya, tinggal berdoa saja.

***

Seruan berkarya tersebut ‘memantik’ rasa penasaran salah satu penasihat komunitas U-INSPIRE (Youth and Young Professionals in Science and Technology for Disaster Risk Reduction), Dr. Udrekh Hanif seporang peneliti BPPT yang kerap dipanggil Pak Udrekh, dengan melakukan survei sederhana. Beliau menggali pendapat para anggota grup WhatsApp U-INSPIRE melalui pertanyaan,”Kapan (biasanya) orang sering berdoa dan hanya berdoa?”.

Beliau memulai dengan kondisi ‘sakit’, ‘menjelang ujian’, dan ‘berumah tangga’, yang kemudian disambut dengan berbagai jawaban dari para anggota. Mulai yang serius seperti ‘ketika terjadi gempa besar’, sampai dengan yang receh seperti ‘ketika dapat undangan pernikahan mantan’. Ragam jawaban ini kemudian disambut kembali oleh Pak Udrekh, yang juga merupakan peneliti geosaintis maritim BPPT, dengan pembahasan di antara ranah psikologis dan filosofis yang cukup berat dan mendalam.

Hasilnya, sebagian besar jawaban tersebut ialah doa dan hanya berdoa dalam spektrum ‘kepepet’, walaupun tersirat sudah ada usaha yang dilakukan. Contohnya, ketika terjadi gempa besar atau berada dalam pesawat yang tiba-tiba berguncang dan terasa seperti kehilangan daya angkat.

Dalam pandangannya, terutama kejadian bencana alam, terdapat perilaku maupun upaya yang lumrah dilakukan banyak orang. Misalnya, ketika melihat langit mendung, petir menyambar, kemudian disikapi dengan membawa payung, mengenakan jas hujan, atau pindah ke tempat yang lebih aman. Artinya, bukan hanya pasrah dan tawakal (baca: berserah diri). Untuk kasus-kasus tertentu, seperti kejadian gempa dan tsunami, cenderung lebih sering ditemui munculnya ungkapan ‘banyak-banyak berdoa’, ‘pasrah’, dan ‘tawakal’.

Dari observasi ringan tersebut, beliau mengaitkannya dengan sepenggal kalimat dalam pembukaan UUD 1945, “…berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur…”, yang memang ‘Indonesia banget’. Sebab baginya, di samping usaha yang diakhiri dengan ber-tawakal, memang merupakan naluri bangsa ini untuk menempatkan elemen ketuhanan sebagai bagian dalam kehidupan, dan meyakini bahwa segala sesuatu terjadi atas izin dan kuasa-Nya.

***

Apakah berdoa merupakan bagian dari upaya antisipasi?

Sudut pandang Pak Udrekh kemudian memberi celah pertanyaan yang dilontarkan oleh Jamjam Muzaki, anggota U-INSPIRE sekaligus bagian dari Sekretariat Nasional (SEKNAS) Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB), mengenai ‘apakah berdoa ditujukan untuk mengantisipasi bencana?’.

Pertanyaan ini kemudian membawa gagasan Tinitis Rinowati, anggota komunitas U-INSPIRE dan IYDRR (Indonesian Youth on Disaster Risk Reduction), mencuat ke permukaan. Dalam pengetahuannya mengenai early warning system alam ketika akan terjadi peristiwa/ fenomena alam yang berdampak besar, salah satunya dapat diamati melalui perubahan perilaku hewan. Jika memang beberapa –kalau bukan semua- hewan secara naluriah dapat menghindari kejadian alam yang berdampak ekstrim, bukankah manusia juga (seharusnya) bisa?

Menurutnya, dengan berdoa yang baik dan benar seperti meningkatkan keterlibatan alam bawah sadar, atau semacam meditasi yang memusatkan kekuatan batin atau hal lain di luar hal lahiriah, seharusnya naluri alamiah seperti hewan-hewan (insting) tadi menjadi hal yang tidak mustahil untuk pula dimiliki manusia. Maksudnya, berdoa memiliki berkorelasi positif terhadap tingkat kepekaan manusia yang telah berdoa tersebut untuk dapat mengenali tanda atau gejala tertentu dari kejadian alam (termasuk bencana). Terlebih manusia Indonesia, -meminjam istilah Bapak Udrekh tadi- menempatkan faktor ketuhanan sebagai bagian dari naluri bangsa ini. Namun demikian, muncul pula pendapat bahwa berdoa malah menempatkan manusia pada perasaan false sense of security atau merasa seolah-olah aman setelah merapal doa. Yang akhirnya, menyebabkan manusia berada pada kondisi yang pasif hingga abai terhadap ikhtiar-ikhtiar yang perlu dilakukan.

Jamjam kemudian menguraikan keyakinannya, bahwa berdoa benar-benar termasuk salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi bencana. Menurut perspektifnya, doa betul-betul bisa menyelamatkan. Namun, doa tidak berdiri tunggal dan seharusnya bukan merupakan sesuatu yang bertentangan dengan perilaku. Doa adalah komplementer dan bersifat mendasar. Mengacu pada beberapa literatur dalam agama Islam, dapat dijumpai doa tolak bala untuk keselamatan selama perjalanan, doa sapujagat untuk keselamatan dunia akhirat, mendoakan orang lain agar selamat, sehat dan bahagia, dan seterusnya. Seluruh perilaku dan kegiatan umat Islam menurutnya, terdapat doa spesifik yang dilafalkan. Ia kemudian menguatkannya dengan istilah yang disampaikan dalam hadis, mengenai doa yang diibaratkan sebagai senjata dari orang beriman. Lebih dalam lagi, Tuhan menyampaikan melalui kitab suci, “Berdoalah kepada-Ku, maka (pasti) akan Aku kabulkan untukmu.”

Konteks ini bermakna, bahwa ketika manusia telah berdoa untuk keselamatan selama perjalanan, makan pendoa tersebut akan selamat. Meskipun dalam pelaksanaannya, keselamatan atau keadaan selamat tidak dapat diraih hanya dengan berdoa, sebab dalam beragama pun terdapat tata cara, prosedur, dan aturan. Contohnya, dalam agama Islam mengenal fiqih yang mengantarkan pemahaman kesatuan antara upaya lahir dan batin. Kemudian, Jamjam kembali mengutip firman Tuhan dalam kitab suci Al-Quran, “Kamu akan memperoleh (kondisi yg kamu alami/ nasib) apa yang kamu usahakan (lahir batin – sepaket, tidak lahir saja atau tidak batin saja-). Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai kaum itu sendiri mengubah keadaan yang akan menimpa dirinya.”

Menurut beliau, makna berdoa terletak pada dimensi kesadaran yang mengantarkan usaha-usaha yang sifatnya fisik (lahiriah) menjadi keniscayaan merupakan perwujudan dari doa, bukan sesuatu yang paradoks atau seolah-olah bertentangan. Lebih lanjut, secara praktis beliau mengibaratkan perspektif tersebut ke dalam wujud akibat ketika telah berdoa –yang pasti akan dikabulkan Tuhan-, Tuhan akan menggerakkan diri kita agar berupaya sesuai dengan tujuan dari doa kita. Ia kemudian menguatkan, “Jika kita berdoa untuk selamat, maka kita akan digerakan untuk berperilaku yang menunjang keselamatan kita. Doa untuk dapat bergiat #siapuntukselamat, semestinya karena telah berdoa untuk keselamatan diri, sejatinya menyuruh diri kita untuk mempraktikkan prosedur keselamatan.”

Bahwa doa merupakan aspirasi dari kesadaran akan kehambaan kita di hadapan Tuhan, dan sebagai hamba yang telah didaulat jadi khalifah (baca: utusan/ pemimpin) di muka bumi ini, semestinya (kita) menyadari bahwa keselamatan diri dan bumi ada di tangan kita. Selanjutnya, ketika kita berdoa untuk keselamatan diri dan bumi, niscaya kita akan menjaga diri dan bumi kita dari kehancuran, dari bencana.

Lebih jauh berdasarkan pemahaman agamanya, agar selamat di akhirat, sesungguhnya manusia diperintahkan untuk mengurusi nasib selama di dunia. Kemudian, bagaimana caranya agar terhindar dari api neraka sekaligus api di dunia? Terhindar dari bencana?

Firman Allah SWT, “fasaluu ahladzikra inkuntum laa ta’lamuun.” Tanyalah kepada ahli dzikir, ahli mengingat, mengingat kehambaan kita, mengingat peran kita sebagai manusia. Termasuk mengingat banyak hal, seperti peneliti, jadi tanyalah peneliti. Atau, orang yang kerap berkontemplasi, penemu, bertanyalah (kepadanya). Bertanya berapa banyak sekolah yang berada di atas sesar aktif, bertanya bagaimana agar sekolah itu aman, bertanyalah agar keluarga kita aman, dan seterusnya. Jawaban tersebut bahkan sudah ada, asalkan diiringi dengan usaha terus mencari, terus bertanya, terus melakukan upaya, selain doa.

Selanjutnya Wahyu Setyawan Minarto, anggota U-INSPIRE dan juga tim Safekids Indonesia, menanggapi konteks kesatuan doa dan upaya tersebut dari sudut pandang safety procedure. Ketika kecelakaan dianggap takdir dan nasib, sebenarnya bertolak belakang dengan prinsip safety itu sendiri, yakni all accident can be prevented.

***

Istilah ‘centil’ nan ‘nakal’ dalam membawa tema ini, sesungguhnya bertujuan untuk ‘mengusik’ atau lebih jauh menggerakkan (khususnya) generasi ‘milennial’ dan warganet kekinian. Bahwa, IYDRR berupaya menggelitik kesadaran dan mengantarkan santapan awal pagi yang ringan bagi para pemuda, untuk terlibat dalam upaya PRB, sekecil apapun peran tersebut terlihat.

Meliza Rafdiana, salah satu penggagas U-INSPIRE yang juga berperan di balik layar Predikt!, kemudian menanggapi dengan harapannya akan inisiatif #CerdasBencana, untuk dapat memberikan kontribusi untuk bahan pendidikan publik, termasuk komunitas. Tujuannya, tentunya membantu mengubah paradigma masyarakat, sebab soal berdoa, begitu lekat dengan kebiasaan sehari-hari.

 

Penulis: Tinitis Rinowati

Editor: Suci Innaqa

 

*karya ini merupakan salah satu tulisan yang masuk dalam kegiatan IYDRR bertajuk #CerdasBencana