Kancut

Oleh: Danang Nizar

WhatsApp Image 2019-02-21 at 00.35.28

 

Saat mendengar pertanyaan semacam “Selain berdoa, apa yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi bencana?”, refleks saya menjawab singkat: banyak. Sesederhana itu, karena memang banyak sekali yang bisa kita lakukan untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi bencana. Caranya pun beragam tergantung dari jenis ancaman bencananya. Mulai dari mengakrabkan diri dengan infografis terkait pengurangan risiko bencana (PRB), mengecek regulator tabung gas secara rutin untuk mencegah risiko kebakaran, sampai mendisiplinkan diri untuk mengetahui rambu evakuasi saat mengunjungi daerah rawan tsunami. Daftar ini tentu masih sangat panjang dan dapat dengan mudah didapatkan melalui berbagai kanal informasi.

Maka pada awalnya, saya pun berasumsi bahwa orang lain juga akan menjawab pertanyaan di atas dengan sederhana. Tapi ternyata respons yang ada tidak sesederhana yang dinyana. Banyak jawaban yang muncul justru akhirnya berkutat pada urusan-urusan ‘langit’: mengapa kita harus berdoa, manfaat berdoa, arti penting berdoa, dan hal semacamnya. Sementara kita tahu, tak ada urusan ‘langit’ yang sederhana. Berbagai respons tersebut tentu sah-sah saja. Namun yang menarik adalah, disadari atau tidak, jawaban semacam ini sebenarnya justru dapat menggiring kita untuk tidak menjawab esensi dari pertanyaan yang ada. Mirip seperti apabila kita mendiskusikan warna kancut (maaf) yang saat ini sedang saya gunakan. Diskusinya tentu bisa berkembang dan seru, memang. Tapi untuk apa? Bukan, tentu saya bukan sedang membandingkan urusan berdoa, yang urusannya dengan Yang Di Atas Sana, dengan urusan kancut yang di bawah sini, walaupun keduanya sama-sama bersifat sangat pribadi. Namun intinya, jangan sampai kita terkecoh untuk berjibaku pada hal-hal yang berada di luar ranah esensi. Misal pasca kejadian sebuah bencana, tak jarang kita jumpai di berbagai media sosial ‘analisa’ yang mengaitkan kejadian tersebut dengan moral para korbannya. Sementara berita terkait PRB masih adem-ayem saja sepi pembaca. Sulit memang, karena ini ibarat memilih antara mengikuti akun Lambe Turah atau Kompas di Instagram; jelas mana yang lebih seru, tapi sebetulnya jelas pula mana yang lebih perlu.

Kembali ke urusan pertanyaan di awal—ingat, jangan mudah terkecoh—sebenarnya para pendahulu kita telah memberikan contoh yang nyata akan ragam usaha yang dapat dilakukan untuk menghadapi bencana. Tengoklah masyarakat yang tinggal di sekitar lereng Gunung Merapi. Segala pantangan yang dijalankan, seperti pantang membangun rumah menghadap Gunung Merapi, sampai kebiasaan mengadakan selamatan, sebetulnya dapat diinterpretasikan sebagai sebuah tindakan untuk mengurangi risiko letusan yang mengintai; sederhananya, untuk selamat (Triyoga, 1991; Donovan, 2010). Dapat dikatakan bahwa masyarakat telah memiliki kesadaran risiko bencana yang cukup tinggi, yang pada akhirnya direspons melalui laku budaya dan adat istiadat setempat. Walaupun saat dihadapkan dengan sains efektivitas dari kegiatan tersebut dapat diperdebatkan. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa dengan pengetahuan dan konteks yang berlaku, mereka telah melakukan sesuatu. Hal semacam ini, atau yang biasa disebut dengan respons budaya, juga banyak ditemukan pada komunitas pegunungan di belahan dunia lainnya. Bahkan geomitologi—sebuah studi mengenai tradisi lisan yang berkaitan dengan fenomena geologi seperti letusan gunung api—telah menjadi sebuah sub-studi yang banyak menarik perhatian para peneliti dari berbagai ranah keilmuan, termasuk kebencanaan (Cashman & Cronin, 2008).

Maka sudah sepantasnyalah kita melakukan sesuatu untuk mengurangi risiko bencana yang ada di sekitar kita, mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh generasi terdahulu. Apalagi saat ini kita telah diberi kemudahan akan akses informasi yang berlimpah. Mungkin hanya satu hal yang membuat kita tertinggal dari masyarakat di lereng Gunung Merapi: ‘keakraban’ dengan ancaman bencana. Personifikasi letusan Gunung Merapi sebagai kegiatan ‘bebenah’ di Keraton Merapi, sehingga masyarakat harus menyingkir dan tahu diri, merupakan sebuah contoh kecil keakraban masyarakat dengan jenis ancaman bencana di sekitarnya (Nizar, 2013). Sementara kita, terkadang masih suka alpa akan lokasi pintu keluar darurat di gedung kantor atau bahkan tidak memiliki alat pemadam api ringan di rumah. Mari bersama kita lakukan sesuatu untuk mengurangi risiko bencana di sekitar kita, sekecil apa pun itu. Bukan untuk siapa-siapa, melainkan untuk keselamatan diri sendiri dan juga orang yang kita sayangi.

Mulai bertanyakah Anda mengapa tulisan ini berjudul ‘Kancut’, padahal kata tersebut hanya muncul dua kali sampai sejauh ini? Bukan, bukan karena bentuk kancut yang segitiga adalah bentuk yang paling umum dari logo lembaga kebencanaan. Tapi karena memang sesulit itulah membuat agar orang tertarik, melirik dan mengeklik sebuah artikel kebencanaan. Sampai-sampai kancut pun harus dijadikan pelecut agar Anda kepincut. Kena deh!

 

 

Referensi

Cashman, KV & Cronin, SJ. 2008. Welcoming a monster to the world: Myths, oral tradition, and modern societal response to volcanic disasters. Journal of Volcanology and Geothermal Research, vol. 176, no. 3, pp. 407-18.

Donovan, K. 2010. Cultural responses to volcanic hazards on Mt Merapi, Indonesia. Doctoral Thesis. University of Plymouth.

Nizar, D. 2013. Caring for the ‘Grandfather’: Bridging Indigenous Knowledge and Official Disaster Management Strategies’. Honours Thesis. University of Queensland.

Triyoga, LS. 1991. Manusia Jawa dan Gunung Merapi: Persepsi dan Sistem Kepercayaannya. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

 

 

Penulis  : Danang Nizar

Editor    :  Suci Innaqa

 

 

*karya ini merupakan salah satu tulisan yang masuk dalam kegiatan IYDRR bertajuk #CerdasBencana

Leave a comment